Blogroll

Sunday, January 8, 2012

Banking Risk Assessment

Banking Risk Assessment

Risiko kredit (bahasa Inggris: Credit risk) adalah merupakan suatu risiko kerugian yang disebabkan oleh ketidak mampuan (gagal bayar) dari debitur atas kewajiban pembayaran utangnya baik utang pokok maupun bunganya ataupun keduanya.
Risiko pemberi pinjaman atas konsumen
Kebanyakan pemberi pinjaman menggunakan cara penilaian kelayakan kredit mereka masing-masing guna membuat peringkat risiko konsumen lalu kemudian mengaplikasikannya terhadap strategi bisnis mereka. Dengan produk-produk seperti pinjaman pribadi tanpa jaminan atau kredit pemilikan rumah, kreditur akan mengenakan suku bunga yang tinggi terhadap konsumen yang berisiko tinggi dan sebaliknya. Pada pinjaman berulang seperti pada kartu kredit dan overdraft, risiko ini dikontrol dengan cara penetapan batasan kredit yang seksama. Beberapa produk mensyaratkan adanya jaminan yang biasanya dalam bentuk properti.
Risiko pemberi pinjaman atas bisnis
Debitur akan menawarkan biaya / keuntungan dari suatu pinjaman berdasarkan dari risiko dan suku bunga yang dikenakan, namun suku bunga ini bukan hanya satu-satunya metode kompensasi untuk risiko yang dihadapi. Perlindungan tambahan dalam bentuk pembatasan sebagaimana diatur dalam perjanjian kredit memungkinkan dilakukannya pengawasan oleh pemberi pinjaman (kreditur) atas peminjam (debitur) yaitu misalnya dalam bentuk :
  • Pembatasan terhadap debitur atas tindakan-tindakan yang dapat memengaruhi keuangan debitur misalnya melakukan pembelian kembali saham, melakukan pembayaran deviden, atau melakukan peminjaman baru.
  • Kewenangan untuk melakukan pengawasan atas utang dengan cara mensyaratkan adanya audit dan laporan keuangan bulanan.
  • Hak kepada kreditur untuk meminta pelunasan seketika atas utang yang diberikannya apabila terjadi suatu peristiwa khusus ataupun apabila rasio keuangtan seperti utang / ekuiti menurun.
Saat ini terdapat inovasi untuk melindungi kreditur dan pemegang obligasi terhadap risiko gagal bayar yaitu dalam bentuk kredit derivatif yang dikenal dengan istilah credit default swap. Dengan kontrak keuangan ini maka perusahaan dimungkinkan untuk membeli suatu perlindungan (proteksi) terhadap risiko gagal bayar dari pihak ketiga selaku penjual perlindungan. Penjual perlindungan ini memperoleh imbal jasa secara periodik sebagai bentuk kompensasi atas risiko yang diambil alih olehnya yaitu dalam bentuk kesepakatan untuk membeli tagihan tersebut apabila terjadi gagal bayar.
Risiko yang dihadapi oleh bisnis
Perusahaan menghadapi "risiko kredit" dalam hal misalnya perusahaan tidak menerima "pembayaran dimuka" secara tunai untuk produk atau jasa yang dijualnya. [1] . Dengan melakukan penyerahan barang atau jasa di depan dan menagih pembayaran kelak maka perusahaan menanggung suatu risiko selama tenggang waktu penyerahan barang atau jasa dengan waktu pembayaran.
Beberapa perusahaan memiliki d3epartemen risiko kredit yang bertugas untuk menilai kesehatan finansial dari konsumennya guna memutuskan pemberian kredit lebih lanjut atau tidak. Dalam hal ini dapat juga digunakan jasa pihak ketiga yaitu peruisahaan yang menyediakan jasa dibidang penilaian kredit dengan memberikan peringkat kredit seperti misalnya Moody's, Standard & Poor's, Fitch Ratings dan lainnya yang menyediakan informasi berbayar.
Risiko kredit ini tidak dengan sungguh-sungguh dikelola oleh perusahaan kecil yang hanya memiliki 1 atau 2 konsumen saja, sehingga perusahaan ini sangat rentan terhadap masalah gagal bayar atau keterlambatan pembayaran oleh konsumennya.
Risiko yang dihadapi individu
Konsumen dapat menemui risiko kredit dalam bentuk langsung misalnya sebagai deposan di bank atau sebagai debitur. Mereka dapat juga menghadapi risiko kredit sewaktu melakukan transaksi dagang dengan cara penyerahan uang muka kepada mitra pengimbang misalnya untuk melakukan pembelian rumah atau penyewaan rumah. Karyawan dari suatu perusahaan juga amat tergantung pada kemampuan perusahaan dalam melakukan pembayaran gaji juga termasuk yang menghadapi risiko kredit dalam stausnya sebagai karyawan.
Pada beberapa kasus, pemerintah menyadari bahwa kemampuan para individu ini untuk melakukan evaluasi atas risiko kredit sangat terbatas dan risiko ini dapat mengurangi efisiensi ekonomi sehingga pemerintah melakukan berbagai mekanisme dan langkah hukum guna melindungi konsumen terhadap risiko ini. Deposito bank pada beberapa negara dijamin dengan asuransi (hinga batasan nilai tertentu) untuk deposito individu / perorangan, yang secara efektif akan mengurangi risiko kredit mereka terhadap bank dan meningkatkan kepercayaan mereka menggunakan jasa perbankan.


sumber
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Risiko_kredit 
  • http://www.iiyyaa.blogspot.com/2012/01/banking-risk-assessment.html

Proses, Metodologi dan Alat Pada Manajemen Resiko Proses Manajemen Risiko

Proses, Metodologi dan Alat Pada Manajemen Resiko

Proses Manajemen Risiko

a. Proses manajemen risiko dimulai dengan aktivitas identifikasi risiko, yaitu mengenal dan memahami seluruh risiko yang sudah ada maupun yang mungkin timbul dari suatu aktivitas.

b. Setelah identifikasi risiko, selanjutnya melakukan pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko.

c. Pengukuran risiko dimaksudkan ini dimaksudkan untuk mengukur dan menilai dua hal yang terkandung dalam risiko :
  • Tingkat besar kecilnya kemungkinan terealisirnya risiko tersebut menjadi kerugian yang harus diderita,dan
  • Tingkat besar kecilnya jumlah dan nilai kerugian, apabila ternyatanrisiko tersebut terealisir menjadi kerugian.
d. Pemantauan risiko dilakukan dengan evaluasi terhadap eksposur risiko, terutama yang bersifat material dan/atau yang berdampak

e. Hasil evaluasi terhadap eksposur risiko dilaporkan secara tepat waktu, akurat dan informatif yang selanjutnya digunakan oleh pihak pengambilan keputusan, termasuk tindak lanjut yang diperlukan yaitu berupa pengendalian risiko antara lain dengan cara penambahan modal, lindung nilai, dan teknik mitigasi risiko lainnya.

Organisasi fungsional dibangun agar dapat :

(1) mengimplementasikan manajemen risiko secara efektif,

(2) mengembangkan budaya risiko,

(3) menetapkan kebijakan terhadap seluruh aktivitas pengambilan risiko secara jelas, khususnya mengenai pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk seluruh lapisan organisasi yang terkait dengan manajemen risiko.


Metode manajemen risiko digunakan setelah pembukaan posisi. Risiko utama dari metode manajemen adalah penyerahan order yang menahan kerugian.

Stop-loss (secara literal artinya menghentikan kerugian) adalah suatu titik dimana seorang trader keluar dari pasar untuk menghindari situasi yang membawa bencana. Anda harus menentukan stop-loss ketika membuka posisi agar terhindar dari kerugian.

Ada beberapa stop-signal (tanda berhenti):

  • Stop signal awal adalah menentukan jumlah setoran atau suku bunga dimana trader siap kehilangan. Ketika harga bergerak menuju titik ini dan mencapainya, maka posisi level tetap trader mendekati, dan bukan melebihi kerugian yang telah ditetapkan sebelumnya oleh trader.
  • Trailing stop signal adalah ketika harga bergerak menuju suatu posisi, dan stop signal ditentukan sesudahnya, sesuai dengan pilihan trader. Jika arahnya berubah, dan harga mencapai sinyal tersebut, trader keluar dari pasar dan berpotensi meraup keuntungan (tergantung pada harga ketika pergerakan dimulai).
  • Profit dismantling adalah ketika keuntungan murni telah diperoleh, dan posisinya telah ditutup.
  • Stop signals at times adalah ketika pada suatu waktu pasar tidak mampu mendapatkan keuntungan yang diharapkan, maka posisinya ditutup.

sumber
  • http://www.dapenbun.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=75&Itemid=125
  • http://alternatifbisnis.com/metode-manajemen-risiko.html
  • http://www.iiyyaa.blogspot.com/2012/01/proses-metodologi-dan-alat-pada.html

Evolusi Kesepakatan Basel dan Pengembangan Pengawsan Perbankan Berdasarkan Resiko

Evolusi Kesepakatan Basel dan Pengembangan Pengawsan Perbankan Berdasarkan Resiko

BASEL I 
 
Regulasi keuangan periode tahun 1970 - an dan 1980 - an :
  • Pemberian izin mendirikan lembaga keuangan
  • Pembatasan aktivitas yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan pada masing-masing institusi keuangan
  • Definisi dari rasio-rasio pada neraca dan persyaratan giro wajib nimimum atau menjaga tingkat
Dibutuhkan keragaman regulasi secara global yang menjadi acuan suatu regulator pada masing - masing negara. Munculnya Kesepakan Basel - basel accord. Th. 1974 dicetuskan komite basel – the basel committee. Juli 1988 Basel Committee merekomendasi :
  • Perlunya lembaga perbankan (khususnya internationally active banks) memiliki modal minimum 8% untuk minimized insolvency dan memperkecil perbedaan kompetitif sehingga tercipta level of playing field.
  • Perhitungan permodalan menggunakan konsep “forward looking” yaitu menggunakan credit risk dalam portfolio perbankan yang berpotensi merugikan bank.
Basel I menetapkan persentase modal yang harus dimiliki perbankan terhadap total asset tertimbang menurut risiko (risk-weighted assets = RWA), yaitu 8%. Perhitungan dilakukan dgn mengelompokkan aset bank ke dalam beberapa kategori risiko dan memberi bobot setiap kategori menurut jenis debitur :
  • 100% untuk corpotare loan
  • 50% untuk housing loan
  • 20% untuk bank - bank
  • 0-10% untuk pemerintah negara - negara OECD
Penerapan Basel dikritik karena :
  • Kategori pembobotan risiko sangat luas, sehingga tidak mencerminkan gradasi risiko kredit yang sebenarnya.
  • Mengabaikan implikasi diversifikasi portfolio.
  • Menciptakan pengaturan yang menempatkan bank pada posisi yang kurang menguntungkan dibanding pesaing non bank
  • Belum mencakup perkembangan risiko keuangan dlm pasar modal.
1996: Basel I disempurnakan dengan Market Risk Amendments yg menyesuaikan pengaturan capital requirements dengan memasukkan unsur market risk terkait dengan equity, debt, interest rate dan commodity risk :
  • Perlunya memasukkan market risk dalam perhitungan permodalan mengingat perbankan secara aktif terlibat dalam aktivitas pasar keuangan dengan berbagai risikonya antara lain interest rate risk dan foreign exchange risk.
  •  Memberikan peluang bagi perbankan mengembangkan model sendiri dlm mengukur market risk dgn persetujuan otoritas pengawas.
Kelemahan Basel I

  • Pendekatan portofolio belum diakomodasi.
  • Netting belum diizinkan. 
  • Eksposur risiko pada pada Basel I diregulasi secara samar-sama.
  • Pendekatan Basel I memberikan  pembobotan pada bobot risiko aktiva yang sama terhadap semua pinjaman korporat tanpa memperdulikan peringkat kredit dari debitur.

BASEL II
  • Dalam the market risk amendement in 1996 mengizinkan bank  menggunakan model internal untuk mengukur risiko kredit.
  • Komite Basel pada tahun 1999 meningkatkan kerja sama dengan bank utama dari Negara anggota dalam mengembangkan kesepakatan modal yang baru (capital accord).
  • Kenal dengan nama Kesepakatan Basel II.

Regulasi Tiga Pilar Kesepakatan Basel II

Pilar 1 – Kewajiban Penyediaan Modal Minimum

Dalam pilar 1 ini bank diminta untuk mengkalkulasi modal minimum:
  • Risiko Kredit
  • Risiko Pasar, dan
  • Risiko Operasional
 Pilar 2 – Tinjauan Berdasarkan Regulasi
  • Proses tinjauan berdasarkan regulasi  supervisory review yang diformalkan oleh pembuat kebijaksanaan berdasarkan praktek terbaik (best practice) yang berlangsung.
  • tinjauan pengawasan berdasarkan risiko dari Federal Reserve Board di Amerika Serikat dan Financial Services Authority diInggris.

 Pilar 3 – Disiplin Pasar Yang Efektif
  • Mengenai pilar disiplin pasar.
  • Keterbukaan kepada public oleh bank.
  • Membantu pemegang saham bank dan analisa pasar dan membawa peningkatan transparasi.


sumber

xa.yimg.com/kq/groups/.../API_+Basel+I+and+Basel+II++v5.pptx
http://www.iiyyaa.blogspot.com/2012/01/evolusi-kesepakatan-basel-dan.html

Implementasi Basel

Implementasi Basel

Basel I adalah suatu istilah yang merujuk pada serangkaian kebijakan bank sentral dari seluruh dunia yang diterbitkan oleh Komite Basel pada tahun 1988 di Basel, Swiss sebagai suatu himpunan persyaratan minimum modal untuk bank. Rekomendasi ini dikukuhkan dalam bentuk aturan oleh negara-negara Group of Ten (G10) pada tahun 1992. Basel I secara umum telah ditinggalkan dan digantikan oleh himpunan pedoman yang lebih komprehensif, yang disebut Basel II, yang sedang diterapkan oleh beberapa negara. Basel II adalah yang kedua dari Basel Accord, (sekarang diperpanjang dan efektif digantikan oleh Basel III ), yang rekomendasi mengenai hukum perbankan dan peraturan yang dikeluarkan oleh Komite Basel tentang Pengawasan Perbankan.

Basel II, awalnya diterbitkan pada bulan Juni 2004, dimaksudkan untuk menciptakan sebuah standar internasional untuk regulator perbankan untuk mengontrol berapa banyak kebutuhan modal bank-bank untuk menyisihkan untuk menjaga terhadap jenis bank risiko keuangan dan operasional (dan ekonomi keseluruhan) wajah. Salah satu fokus adalah untuk menjaga konsistensi peraturan yang cukup sehingga hal ini tidak menjadi sumber ketidaksetaraan antara bank-bank internasional yang kompetitif aktif. Advokat Basel II percaya bahwa standar internasional seperti dapat membantu melindungi sistem keuangan internasional dari jenis masalah yang mungkin timbul harus sebuah bank besar atau serangkaian keruntuhan bank. Dalam teori, Basel II berupaya mencapai hal ini dengan mendirikan risiko dan persyaratan pengelolaan modal yang dirancang untuk memastikan bahwa bank memiliki modal yang memadai untuk resiko bank menghadapkan dirinya untuk melalui pinjaman dan praktik investasi. Secara umum, aturan-aturan ini berarti bahwa risiko lebih besar untuk bank mana yang terkena, semakin besar jumlah modal bank perlu terus untuk menjaga nya solvabilitas dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Secara politis, hal itu sulit untuk menerapkan Basel II di lingkungan peraturan sebelum 2008, dan kemajuan pada umumnya lambat sampai krisis perbankan besar tahun itu disebabkan sebagian besar oleh credit default swap, hipotek keamanan berbasis pasar dan serupa derivatif . Sebagai Basel III dirundingkan, ini adalah puncak pikiran, dan karenanya jauh lebih ketat standar yang dimaksud, dan dengan cepat diadopsi di beberapa negara kunci termasuk Amerika Serikat.

Basel II menggunakan "tiga pilar" konsep :
1) Persyaratan modal minimum (menghadapi resiko),
2) Supervisory review dan
3) Disiplin pasar

Kesepakatan Basel I hanya berurusan dengan bagian-bagian dari masing-masing pilar. Sebagai contoh : sehubungan dengan pilar Basel II pertama, hanya satu risiko, risiko kredit, dihadapi dengan cara yang sederhana sambil risiko pasar adalah renungan; risiko operasional tidak ditangani dengan sama sekali.

Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the 1988 accord  yang memberikan kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional.

Basel II bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory review process, dan market discipline. Framework Basel II disusun berdasarkan forward-looking approach yang memungkinkan untuk dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian dari waktu ke waktu. Hal ini untuk memastikan bahwa framework Basel II dapat mengikuti perubahan yang terjadi di pasar maupun perkembangan-perkembangan dalam manajemen risiko.

sumber
 
  • http://yosuaeb04.blogspot.com/2012/01/implementasi-basel.html
  • http://www.iiyyaa.blogspot.com/2012/01/implementasi-basel.html

Regulasi PILAR Basel ; PILAR 2 dan PILAR 3

Regulasi PILAR Basel ; PILAR 2 dan PILAR 3

Pilar 2 – Supervisory Review. Proses supervisory review dalam pilar 2 dimaksudkan untuk mengoptimalkan praktek yang telah ada. Konsep ini secara implisit sudah ada pada Basel I dimaksudkan untuk menetapkan standar minimum yang dapat disesuaikan sesuai dengan kondisi bank. Pilar 2 merupakan pendekatan supervisory review yang menyerupai pendekatan pengawasan bank berbasis risiko yang digunakan oleh Federal Reserve Board di AS dan Financial Autority Services Authority di Inggris. Fokus dari supervisory review adalah:
  • Menjamin tersedianya modal diatas yang ditetapkan dalam Pliar I.
  • Melakukan intervensi secara dini jika diperlukan untuk mengantisipasi terhadap risiko yang akan muncul, sehingga modal tidak turun dibawah yang disyaratkan.
Pilar 2 juga meliputi evaluasi risiko suku bunga jenis tertentu dalam banking book sebagaimana dokumen Basel Committee “Principles for the management and supervision of interest rate risk” yang menjelaskan cara mengelola tingkat suku bunga di dalam banking book.

Tujuan utama Pilar 2 adalah meningkatkan keterkaitan antara profil risiko bank secara menyeluruh dan sistem manajemen risiko dengan modal bank. Untuk mencapai tujuan ini, Pilar 2 mempersyaratkan pelaksanaan program manajemen risiko yang baik oleh bank, dan penerapan pengawasan bank berbasis risiko (risk-based supervision – RBS) yang efektif oleh pengawas.

Bagi bank, maka peran pertama dan utama adalah untuk mengembangkan proses yang baik (robust) untuk identifikasi, monitor, mengukur dan mengendalikan seluruh risiko yang dipandang material.; dan kedua, untuk menetapkan kebutuhan kecukupan modal yang sesuai dengan profil risiko bank secara menyeluruh. Tanggung jawab bank sesuai Pilar 2-sebagaimana diuraikan di atas – disebut sebagai Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP).

Bagi pengawas, maka peran dalam Pilar 2 adalah untuk mereview dan mengevaluasi kecukupan (adquacy) ICAAP bank. Dengan kata lain, pengawas akan memanfaatkan penilaian bank sendiri terhadap profil risiko dan kecukupan modal sebagai masukan penting dalam penilaian risiko pengawasan bank secara keseluruhan. Berbagai faktor yang diperlukan untuk mengembangkan ICAAP yang memadai akan bervariasi sesuai dengan skala dan kompleksitas bisnis dari setiap bank.

Apabila hasil ICAAP bank dipandang belum memadai, maka pengawas dapat melakukan sejumlah tindakan pengawasan (supervisory actions) untuk memperbaiki permasalahan bank yang material. Tindakan-tindakan pengawasan ini bervariasi dan dapat termasuk tindakan pengawasan kepada pemegang saham, direksi, atau operasional bank bergantung pada karakteristik permasalahan yang ada. Tanggung jawab pengawas sesuai Pilar 2 disebut sebagai Supervisory Review and Evaluation Process (SREP).

Terminologi SREP bisa dipandang baru, namun pada dasarnya menggambarkan proses pengawasan bank yang telah dilakukan saat ini, yang meliputi baik pengawasan (offsite analysis) dan pemeriksaan (on-site examinations). Elemen utama dari SREP adalah dialog secara berkala antara bank dan pengawas selama siklus pengawasan.

Kerangka Basel II menetapkan 4 (empat) prinsip dalam Pilar 2, yang melengkapi Pilar 1 – Persyaratan Modal Minimum, yang secara rinci diuraikan sebagai berikut :
Prinsip 1 : Bank berkewajiban memiliki proses untuk menilai kecukupan modal secara keseluruhan yang dikaitkan dengan profil risiko dan strategi untuk mempertahankan tingkat permodalannya (Internal Capital Adequacy Assessment Process – ICAAP).
Prinsip 2 : Pengawas berkewajiban untuk mereview dan mengevaluasi perhitungan modal secara internal dan strategi-strategi bank, termasuk kemampuan untuk memantau dan memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan rasio permodalan. Pengawas wajib mengambil tindakan pengawasan yang tepat apabila tidak dapat menerima hasil proses tersebut (Supervisory Review and Evaluation Process - SREP).
Prinsip 3 : Pengawas berkewajiban meminta bank untuk beroperasi di atas rasio permodalan yang ditetapkan dan meminta bank menyediakan modal diatas batas minimum. 
Prinsip 4 : Pengawas berkewajiban melakukan intervensi dini untuk mencegah modal turun di bawah tingkat minimum yang dipersyaratkan untuk mendukung karakteristik risiko dari bank dan berkewajiban meminta bank melakukan langkah-langkah perbaikan apabila modal tidak dapat dipertahankan atau dipulihkan kembali.

Pilar 3 – Disclosure. Pilar 3 adalah pilar disiplin pasar. Basel mendefinisikan disiplin pasar sebagai mekanisme governance internal dan eksternal dalam perekonomian pasar uang tanpa adanya intervensi pemerintah secara langsung. Pilar 3 mencakup hal-hal yang akan dibutuhkan dalam hal pengungkapan publik oleh bank. Pilar 3 dirancang untuk membantu pemegang saham bank dan analis pasar dan selanjutnya akan meningkatkan transaparansi atas permasalahan seperti portofolio aktiva bank dan profil risikonya.

Basel I hanya mencakup Pilar I, namun dalam praktek, Pilar 2 dan Pilar 3 akan tetap ada pada semua negara, meskipun pendekatan yang digunakan untuk kedua Pilar tersebut dan aplikasinya mungkin sangat beragam. 

Cakupan Risiko Basel II 

Dalam pendekatan tiga pilar, Komite Basel mengusulkan untuk memperluas cakupan risiko di luar risiko kredit dan traded market risk sehingga mencakup lebih banyak jenis risiko yangdihadapi oleh bank.  Komite Basel memfokuskan Pilar I pada risiko kredit dan risiko operasional, sementara risiko pasar tidak mengalami perubahan seperti dalam 1996 Market Risk Amendment. Dalam Pendekatan Pilar I juga menandai untuk pertama kalinya penggunaan pendekatan kuantitatif untuk risiko operasional. Selain hal tersebut, terdapat berbagai risiko lain yang ingin dicakup dalam Pilar 2 dan Pilar 3, yang dikenal dengan ‘other risks’


sumber
  • http://bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1132:pilar-2-basel-ii-icaap-a-srep&catid=69:manajemen-risiko&Itemid=102
  • http://bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=737:tiga-pilar-basel-ii&catid=69:manajemen-risiko&Itemid=102 
  • http://www.iiyyaa.blogspot.com/2012/01/regulasi-pilar-basel-pilar-2-dan-pilar.html

Mengelola Resiko Operasional

Mengelola Resiko Operasional


(Vibizmanagement - Quality) - Apa akibatnya apabila kita gagal memahami dan mengendalikan  risiko operasional, seperti yang terlihat pada transaksi dan aktivitas bank akhir-akhir ini. Yang akan dihadapi adalah timbulnya peningkatan  resiko-resiko yang lain  secara tajam (drastis) dan diakhiri dengan terjadinya menurunnya performance / profit suatu organisasi.
Dewan Direksi dan Manajemen Senior bertanggung jawab menciptakan budaya organisasi yang menempatkan prioritas tinggi pada pengendalian operasional yang efektif dan kepatuhan pada pengendalian  operasional yang sehat. Manajemen risiko operasional sangat efektif jika budaya bank mendorong standar tingkah laku etis yang tinggi di semua tingkatan bank. Dewan dan Manajemen senior harus mempromosikan budaya organisasi yang membangun melalui tindakan dan kata-kata harapan integritas untuk semua pegawai dalam melakukan bisnis bank.
Prinsip-prinsip yang harus dijalankan supaya suatu organisasi dapat berjalan sesuai dengan prosedur operasional yang berlaku dan meminimasi resiko operasional dan resiko-resiko yang lain adalah seperti yang dijelaskan sbb:
Prinsip 1: Board of director, sebagai pimpinan tertinggi organisasi  harus menyadari  aspek utama risiko operasional bank yang harus dikelola, dan harus menyetujui dan mereview secara periodik kerangka manajemen risiko operasional bank. Kerangka harus memberi definisi risiko operasional menyeluruh pada perusahaan dan menentukan standar untuk mengidentifikasi, menilai, memonitor, dan mengendalikan (control/mitigate) risiko operasional. Di sini dewan harus  harus menyetujui implementasi kerangka kerja keseluruhan yang secara jelas mengelola risiko operasional sebagai suatu risiko tersendiri untuk kesehatan dan kekuatan bank. Dewan harus menyediakan tuntunan yang jelas bagi manajer senior dan arahan yang menyangkut prinsip-prinsip yang mendasari kerangka kerja tersebut dan menyetujui kebijakan-kebijakan yang berhubungan yang dikembangkan oleh manajer senior.
Kerangka kerja harus mencakup selera dan toleransi risiko operasional buat bank, seperti yang dinyatakan dalam kebijakan mengenai manajemen risiko dan prioritas bank terhadap aktivitas-aktivitas manajemen risiko operasional, termasuk tingkatan, dan tindakan dimana risiko operasional dialihkan kepihak lain diluar bank. Harus juga termasuk kebijakan yang secara garis besar pendekatan bank untuk melakukan identifikasi, menilai, monitor dan kontrol/mitigasi risiko. Tingkatan kesulitan dan kecanggihan dari kerangka kerja manajemen risiko operasional bank harus selaras dengan profil risiko bank. Karena aspek yang penting dalam mengelola risiko operasional berhubungan dengan kekuatan pengendalian intern, oleh karenanya sangat penting bagi Dewan menetapkan kejelasan lini tanggung jawab manajemen, akuntabilitas, dan pelaporan. Harus ada pemisahan tanggung jawab dan lini pelaporan antara fungsi kontrol risiko operasional, lini bisnis dan fungsi pendukung untuk menghindari benturan kepentingan. Kerangka kerja harus juga menyatakan proses kunci yang dibutuhkan perusahaan yang harus ada untuk mengelola risiko operasional.
Prinsip 2: Board of directors, sebagai pimpinan tertinggi organisasi  harus memastikan bahwa ada audit reguler terhadap kerangka manajemen risiko operasional yang dilakukan oleh tim internal yang independen dan kompeten (yaitu independen dari tim risiko operasional – biasanya fungsi internal  audit). Bank harus memiliki cakupan internal audit yang memadai untuk verifikasi kebijakan dan prosedur operasi telah diimplementasikan secara efektif. Dewan (baik langsung atau tidak langsung melalui komite auditnya) harus memastikan bahwa cakupan dan frekwensi program audit telah sesuai dengan eksposur risiko. Audit harus secara berkala memvalidasi kerangka kerja manajemen risiko operasional perusahaan telah diimplementasikan secara eketif di seluruh bagian dalam perusahaan.
Walaupun fungsi audit terlibat dalam pengawasan kerangka kerja manajemen risiko operasional, Dewan harus memastikan independensi audit tetap terjaga. Independensi ini mungkin akan ternodai jika fungsi audit terlibat langsung dalam proses manajemen risiko operasional. Fungsi audit mungkin akan menyediakan masukan yang bernilai untuk mereka yang bertanggung jawab pada manajemen risiko operasional, tetapi tidak boleh memiliki tanggung jawab manajemen risiko operasional secara langsung. Dalam praktiknya, Komite menyadari fungsi audit pada beberapa bank (khususnya bank yang lebih kecil) mungkin akan memiliki tanggung jawab awal untuk mengembangkan program manajemen risiko operasional. Jika hal itu terjadi, bank harus menyadari bahwa tanggung jawab sehari-hari dalam mengelola risiko operasional akan dialihkan kepihak lain dalam waktu yang tepat.
Prinsip 3: Manajemen senior harus bertanggung jawab untuk implementasi kerangka manajemen risiko operasional yang disetujui oleh board of director. Manajemen senior harus bertanggung jawab untuk pengembangan kebijakan, proses dan prosedur untuk mengelola risiko operasional pada bank. Manajemen harus menerjemahkan kerangka kerja manajemen risiko operasional yang dikembangkan oleh Dewan Direksi dalam kebijakan, proses dan prosedur yang spesifik yang dapat diimplementasikan dan diverifikasi dalam unit bisnis yang berbeda. Sementara level manajemen masing-masing bertanggung jawab untuk kesesuaian dan keefektifan kebijakan, proses, prosedur dan kontrol dalam cakupannya, senior manajemen harus secara jelas memberikan otoritas, tanggung jawab dan hubungan pelaporan untuk memajukan dan memelihara akuntabilitas, dan memastikan bahwa sumber daya yang diperlukan telah tersedia untuk mengelola risiko operasional secara efektif.
Lebih lagi, manajemen senior harus menilai kesesuaian proses pengawasan manajemen yang sesuai dengan risiko yang terkandung dalam kebijakan bisnis unit.  Manajemen senior harus memastikan bahwa aktivitas bank telah dilakukan oleh staff yang kompeten dengan pengalaman yang memadai, kemampuan teknis dan akses kepada sumber daya.Manajemen senior harus memastikan bahwa staff yang bertanggung jawab untuk mengelola risiko operasional berkomunikasi secara efektif dengan staff yang bertanggung jawab mengelola risiko kredit, pasar dan lainnya, juga dengan mereka yang dalam perusahaan bertanggung jawab untuk mengadakan layanan eksternal seperti pembelian asuransi dan perjanjian-perjanjian dengan outsourcing. Kealpaan melakukan hal itu akan mengakibatkan kesenjangan yang besar atau tumpang tindih dalam program manajemen risiko keseluruhan.
Manajemen senior harus memastikan bahwa kebijakan penggajian telah konsisten dengan selera risiko. Kebijakan penggajian yang justru memberi penghargaan kepada staff yang menyimpang dari kebijakan (contohnya melampaui limit yang telah ditetapkan) akan melemahkan proses manajemen risiko bank. Perhatian khusus juga harus diberikan pada kualitas kontrol dokumentasi dan praktik penanganan transaksi. Kebijakan, proses dan prosedur yang berhubungan dengan teknologi maju yang mendukung transaksi dalam jumlah yang besar, khususnya, harus didokumentasikan dan disebarluaskan kepada orang yang relevan.
Prinsip 4 : Identifikasi dan menilai risiko operasional yang terkandung di dalam semua produk, aktivitas, proses dan sistem.  Identifikasi risiko adalah kaki bukit dari pengembangan berkelanjutan monitor dan sistem kontrol risiko operasional yang bisa dilakukan. Identifikasi risiko yang efektif mempertimbangkan faktor internal (seperti struktur bank, karakteristik aktivitas bank, kualitas SDM bank, perubahan organisasi, perputaran staf) dan faktor eksternal (seperti perubahan dalam industri dan kemajuan teknologi) yang dapat mempengaruhi secara buruk pencapaian tujuan bank.  Sebagai tambahan, untuk melakukan identifikasi potensi risiko terburuk, bank harus menilai kerapuhan pada risiko-risiko ini. Penilaian risiko yang efektif membuat bank menyadari dengan lebih baik profil risikonya dan secara sangat efektif sumber daya-sumber daya tujuan manajemen risiko. Berbagai perangkat yang mungkin digunakan untuk melakukan identifikasi dan penilaian risiko operasional, antara lain:
Saat ini bank dinilai lemah di dalam menjalankan aktivitas operasionalnya sehingga memiliki potensial resiko operasional yang cukup besar. Oleh karena itu dibutuhkan Self – or Risk Assesment untuk membantu melakukan pengendalian terhadap resiko oeprasional. Proses ini digerakkan dari internal dan seringkali dalam bentuk checklist (daftar pertanyaan) dan/atau lokakarya (workshop) untuk melakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan lingkungan risiko operasional. Scorecards, sebagai contoh, menyediakan cara menerjemahkan penilaian kualitatif menjadi metric kuantitatif yang memberikan peringkat berbagai tipe eksposur risiko operasional. Nilai tertentu mungkin berhubungan dengan risiko yang hanya ada pada lini bisnis tertentu sementara lainnya mungkin memeringkat risiko yang ada pada beberapa lini bisnis. Nilai mungkin menunjukkan risiko inheren, juga kontrol-kontrol untuk mitigasinya. Sebagai tambahan, Scorecards mungkin digunakan oleh bank untuk mengalokasikan modal ekonomis (economic capital) pada berbagai lini bisnis dalam hubungan dengan kinerja dalam pengelolaan dan kontrol berbagai aspek risiko operasional.
Selain itu sebagai langkah untuk mengendalikan resiko operasional adalah dengan Operasional Risk Mapping: dalam proses ini, berbagai unit bisnis, fungsi organisasi atau alur proses dipetakan dalam type risiko. Latihan ini dapat mengungkapkan area-area yang lemah dan menolong membuat prioritas tindakan manajemen selanjutnya.
Risk Indicators:  Adalah indikator risiko adalah statistik dan atau metrik, seringkali berhubungan dengan finansial, yang dapat menyediakan pengertian tentang posisi risiko bank. Indikator-indikator ini cenderung dikaji berkala (mungkin bulanan atau kuartalan) untuk mengingatkan bank pada perubahan indikasi yang menjadi perhatian risiko. Indikator-indikator ini mungkin termasuk jumlah kegagalan perdagangan, tingkat perputaran karyawan dan frekwensi dan/atau dampak kesalahan dan kelalaian.

sumber

http://vibizmanagement.com/journal/index/category/quality_management/117  
http://ceritapelajar-dhel.blogspot.com/2012_01_01_archive.html
http://www.iiyyaa.blogspot.com/

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review